KEBEBASAN BERPENDAPAT
kita tentu ingin bisa bebas
berpendapat. Kita ingin menyuarakan pendapat kita, tanpa rasa takut. Kita pun
berjuang untuk mewujudkan kebebasan berpendapat di masyarakat kita. Dalam hal
ini, kita harus melawan kesempitan berpikir yang kerap melekat pada agama dan
tradisi masyarakat kita.
Kebebasan
berpendapat berpijak pada kebebasan berpikir. Kita ingin berpikir sesuai dengan
kehendak dan kebutuhan kita. Kita tak ingin orang lain melarang kita untuk
berpikir. Kebebasan berpikir dan berpendapat telah menjadi bagian dari
perjuangan hak-hak sipil di berbagai negara.
Namun,
seringkali, kita menggunakan kebebasan berpikir dan berpendapat untuk menghina
orang lain. Kita merasa, bahwa kita punya hak dan kebebasan untuk menyakiti
orang lain dengan pendapat kita. Kaum mayoritas merasa punya hak menghina yang
minoritas. Mereka merasa, bahwa itu adalah bagian dari demokrasi.
Mengapa
kebebasan berpikir dan berpendapat digunakan untuk saling menghina? Mengapa
kebebasan seringkali dipelintir untuk tujuan-tujuan yang menyakiti orang lain?
Ini terjadi, karena kebebasan kita masih dangkal. Kebebasan berpendapat dan
berpikir, tanpa kesadaran akan kekosongan
dari pikiran dan pendapat kita, hanya akan mendorong perpecahan dan
penderitaan.
Pikiran
Untuk bisa sungguh bebas berpikir, kita
perlu memahami hakekat dari pikiran kita. Apa itu pikiran? Pikiran adalah
aktivitas mental manusia yang berpijak pada kesadarannya. Jadi, pikiran berbeda
dengan kesadaran. Aktivitas mental ini terjadi, karena hubungan dengan dunia
luar.
Banyak
penelitian dijalankan untuk memahami arti kesadaran, terutama dalam hubungan
dengan otak. Namun, sampai sekarang, belum ada definisi yang cukup diterima
secara umum tentang kesadaran. Di dalam tradisi filsafat Timur, kesadaran
manusia sama dengan kesadaran semesta, dan kesadaran segala yang ada. Segala
hal terhubung dalam jaringan kesadaran raksasa seluas semesta itu sendiri.
Di
dalam diri manusia, kesadaran lalu melahirkan pikiran. Pikiran berguna bagi
manusia untuk memempertahankan dirinya. Untuk itulah ilmu pengetahuan dan
teknologi dilahirkan. Pikiran manusia juga menciptakan konsep dan bahasa yang
berguna untuk memahami segala sesuatu. Dalam arti ini, dapatlah dikatakan,
bahwa pikiran menciptakan segalanya yang diketahui manusia.
Namun,
pikiran manusia juga memiliki kelemahan. Sejatinya, ia bersifat kosong,
sementara dan tidak pasti. Pikiran manusia tidak mencerminkan kebenaran,
melainkan hanya aktivitas mental subyektifnya saja. Ia datang dan pergi,
bagaikan angin dingin di tengah musim panas.
Banyak
orang sibuk dengan pikirannya. Mereka mengira, bahwa pikirannya nyata. Mereka
mengira, bahwa pikirannya adalah kebenaran. Inilah sumber dari segala
penderitaan batin dan konflik antar manusia, yakni dari pikiran kacau yang
dianggap sebagai kebenaran.
Kebebasan
dari PikiraN
Orang semacam ini mengalami kemelekatan pada pikirannya. Ia tidak
sadar, bahwa pikirannya kosong, sementara dan tidak pasti. Karena kemelakatan
ini, ia menganggap dirinya benar. Ia pun menjadi orang yang sombong. Sikap
semacam ini mengundang banyak kesalahpahaman dan konflik.
Orang
yang melekat pada pikirannya juga akan melekat pada pendapatnya. Ia mengira,
pendapatnya memiliki kebenaran mutlak. Ia tidak sadar, bahwa pendapatnya pun
tidak mencerminkan kenyataan apa adanya. Orang semacam ini juga akan terjebak
pada penyakit yang sama, yakni arogansi, dan mendorong kesalahpahaman serta
konflik dengan orang lain.
Kemelekatan
pada pikiran juga menciptakan penderitaan. Orang diatur oleh pikirannya. Ketika
senang, ia senang secara berlebihan. Ketika sedih, ia amat menderita, bahkan
ingin bunuh diri.
Menyadari,
bahwa setiap pikiran dan pendapat itu kosong, membuat orang mampu mengambil
jarak pada pikiran dan pendapatnya. Ia pun bebas dari pikiran dan pendapatnya.
Ia tidak lagi dijajah oleh pikiran maupun pendapatnya. Dengan keadaan ini, ia
bisa menggunakan pikiran dan pendapatnya untuk menolong orang lain, dan bukan
untuk menghina orang lain.
Kebebasan berpikir dan berpendapat
haruslah dibarengi dengan kebebasan dari
pikiran dan pendapat. Inilah kebebasan yang sejati. Inilah kebebasan manusia
dewasa. Selama orang masih mengira, bahwa pikiran dan pendapatnya mencerminkan
kebenaran mutlak, selama itu pula, ia akan menjadi manusia arogan yang gemar
memicu konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar