Pemikiran
politik Ibnu Khaldun dalam konsep Negara dan Sistem Pemerintahan
Ibnu Khaldun adalah seorang muslim yang sangat taat, oleh karena itu tulisan-tulisan beliau sangat dipengaruhi oleh Al-Quran dan Al-Hadits yang diyakinisebagai sumber kebenaran itu sendiri. Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi Negara dengan tolak ukur kekuasaan. Ia membagi Negara menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi’i).
Tipe Negara ini di tandai oleh kekuasaan yang sewenang-wenang (depotisme) dan cenderung kepada “hukum rimba”. Disini keunggulan dan kekuatan sangat berperan,prinsip keadilan diabaikan. Ia mengkualifikasi Negara yang semacam itu sebagai Negara yang tidak berperadaban. Negara hukum dalam tipe ini adalah suatu Negara yang menjadikan syari’ah (hukum islam) sebagai pondasinya. Malcom H. Kerr menamakannya dengan istilah nomokrasi islam.
2. Negara dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi).
Tipe Negara ini dibagi tiga macam, yaitu: Negara hukum atau nomokrasi islam (siyasah diniyah), Negara hukum sekuler (siyasah ‘alqliyah), dan Negara ala ‘Republik’ Plato (siyasah madaniyah). Siyasah diniyah menurut Ibnu Khaldun ialah kecuali Al-Quran dan As-Sunnah, akal manusia pun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara. Waqar Ahmad Husaini mencatat bahwa nomokrasi islam bertujuan untuk mengwujudkan kesejahteraan masyarakat universal, baik di dunia maupun di akhirat (al-masalih al-kaffah). Husaini menggunakan istilah ‘Negara Syari’ah’ untuk siyasah diniyah atau nomokrasi islam. Menurut Ibnu Khaldun, tipe Negara paling baik dan ideal di antara siyasah diniyah, siyasah ‘aqliyah dan siyasah madaniyah adalah siyasah diniyah atau nomokrasi islam. Siyasah ‘aqliyah hanya mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hokum yang bersumber dari wahyu. Pada siyasah madaniyah (Republik ala Plato) merupakan sutu Negara yang diperintah oleh segelintir golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai hak pilih. Dalam siyasah diniyah, kecuali syari’ah (hukum islam) orang menggunakan pula hukum yang bersumber dari akal manusia. Maka dari ketiga tipe Negara yang ternasuk dalam bentuk mulk siyasi itu, maka secara teoretis menurut Ibnu Khaldun nomokrasi islam atau dalam istilahnya siyasah diniyah ‘satu-satunya bentuk tata politik dan cultural yang permanen’.Yang sangat menarik dari klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi Negara ialah pendekatan nya yang menggunakan mulk sebagai a generic term dan pembagian mulk itu menurut karakteristiknya. Menurut teori Ibnu Khaldun pandangan tentang Negara dan masyarakat yang berbeda dengan pemikiran-pemikiran yunani. Menurut alm pemikiran yunani, Negara dan masyarakat adalah identik. Sebaliknya, menurut Ibnu Khaldun berpendirian bahwa Negara merupakan ‘bentuk masyarakat’, sedangkan maryarakat tidak dapat dipisahkan, Negara berkaitan dengan masyarakat. Dalam hubungannya dengan eksitensi Negara, Ibnu Khaldun membuat suatu anologi bahwa kehidupan Negara ibarat sutu organisme. Ia tumbuh berkembang, dan kemudian mencapai puncak kejayaannya.setelah itu ia mengalami suatu proses ‘ketuaan’ atau menurun dan pada akhirnya lenyap. Dalam penjabaran etika bernegara Ibnu Khaldun sangat berpatokan kepada prilaku kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi,Rasul, dan kepala Negara islam. Karena Nabi itu di utus untuk memperbaiki etika bernegara.
1. Tentang
Negara, bahwa manusia itu memiliki sifat-sifat kehewanan, sehingga dipelukan
seorang wazi yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan (mulk). Tindakan ini bukan
didasarkan naluri manusia melainkan sebagai hasil pemikiran. Masyarakat yang
memiliki mulk tadi, itulah Negara. Hal lain dalam Negara, adalah diperlukan
adanya rasa ashabiyat, rasa golongan untuk mengikat warga Negara, dalam soal
ashabiyat ini menunjukan bagi pendapat Ibnu Khaldun Negara itu tidak terikat
dengan adanya nubuwwah, hal yang terpenting dalam soal penguasa atau kepala
Negara.
2. Menurut
Ibnu Khaldun ashabiyat bertujuan untuk mewujudkan al-mulk, karena ashabiyat
mampu memberikan perlindungan, memelihara pertahanan bersama, dan sanggup
memelihara kegiatan masyarakat lainnya. Kekuasaan dan politik harus berpegang
pada agama dan moral. “ politik dan kekuasaan itu bertujuan untuk melindungi
rakyat, melaksanakan hukum-hukum Allah pada mereka, dan hukum-hukumNya itu
bertujuan untuk kebaikan, memelihara kemaslahatan, dan pemerintahan yang
demikian akan menjadi kuat.
3. Menurut
Ibnu Khaldun manusia tidak bisa hidup tanpa adanya organisasi kemasyarakatan
dan tanpa kerja sama dengan sesama manusia untuk memenuhi kebetuhan, sehingga
manusia secara alamiah membutuhkan Negara. Teori Ibnu Khaldun tentang asal mula
Negara ini serupa dengan apa yang telah dikemukakan Plato dan juga mirip dengan
gagasan-gagasan yang telah dikemukakan Ibn Abi Rabi’, Al-Farabi, Al-Mawardi,
dan Al-ghazali.Namun demikian sumbangan orisinil dari Ibnu Khaldun kepada
pemikiran politik adalah teorinya tentang ashabiyah , adanya ashabiyah yang
kuat inilah yang menjadi prasyarat berdirinya suatu dinasti atau Negara besar.
Oleh karenanya dari berbagai ashabiyah yang terdapat dalam suatu Negara, kepala
Negara harus berasal dari ashabiyah yang paling domininan.
4. Adapun
syarat untuk menduduki jabatan kepala Negara, khalifah, atau imam itu, menurut
Ibnu Khaldun, bahwa seorang calon harus dipilih oleh Ahl al-Halli Wa al-Aqdi.
5. Ibnu
Khaldun mengemukakan syarat-syarat kepala Negara, yaitu: pertama berpengetahuan
disertai berkesamgupan dalam mengambil keputusan sesuai dengan syariat.
Kekuasaan wibawa-politik yang sesuai dengan syariat adalah yang menyebabkan
manusia bertindak sesuai dengan peritah syariat untuk kepentingan mereka. Ini
menunjukan bahwa pikiran Ibnu Khaldun merupakan pikiran seorang muslim yang
tidak melepaskan masalah agamanya dengan Negara,kedua adil dalam menjalankan
segala kewajiban temasuk dalam dalam posisinya sebagai saksi, ketiga secara
fisik dan mental bebas dari cacat-cacat yang tidak memungkinkan ia menjalankan
tugas sebagai kepala Negara dengan baik. Menurut ibnu khaldun kekuasaan itu
sangat menggoda bagi seorang penguasa yang di antaranya : kemegahan,
harta, dan wanita, lebih-lebih bagi penguasa yang lama berkuasa. Selain
mejelaskan tentang Negara juga mengemukakan mengenai system pemerintahan.
Menurut Ibnu khaldun system pemerintahan ada tiga macam: pertama
pemerintahan kerajaan yang natural (al mulk), yang artinya membawa sekalian
umat sesuai dengan tujuan dan keinginan nafsu.
6. Tabiat
natural adalah insting, atau kecenderungan dan keinginan insting yang tersusun
dalam satu individu, seperti egoisme, jenis pemerintah ini menyerupai apa yang
kita namakan sekarang dengan pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi,
atau inkonstitusional. Ibnu Khaldun juga melanjutkan, adapun model pemerintahan
yang berorientasikan kekerasan, penindasan,dan mengesampingkan potensi
kemarahan rakyatnya pastilah akan menimbulkan kerusakan dan permusuhan. Model
seperti itu tidaklah terpuji, sesuai dengan tutunan kebijaksanaan politik.
7. Kedua
pemerintahan atau mulk-politik, yang artinya membawa atau mengantar masyarakat
atau rakyat sesuai dengan pandangan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi
dan mencegah mudharat. Ketiga pemerintah yang membawa semua orang untuk berpikir
sesuai dengan jalan agama, dalam memenuhi semua kepentingan mereka, baik yang
bersifat uhkrawi maupun keduniaan. Model seperti ini adalah perwakilan dari
Tuhan sebagai pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan
ajarannya. Ibnu Khaldun mengatakan yang ketiga ini merupakan studi komparasi
dengan dua pemerintahan sebelumnya. Jika aturan undang-undang diputuskan oleh
para intelektual dan pembesar Negara, kebijaksanaan disebut rasional. Dan jika
aturan-aturan itu berasal dari Allah yang memutuskannya serta mensyariatkannya,
maka orientasi politiknya adalah religious, bermamfaat dalam kehidupan
keduniaan dan keakhiratan.
8. Ibnu
Khaldun berkata :“Mengangkat putra mahkota dengan maksud menurunkan kedudukan
kepala negara kepada anak, bukanlah dari maksud-maksud keagamaan. Seyoginya
dilakukan dengan niat baik, karena dikhawatirkan akan
dipermain-mainkan(dijadikan barang pusaka dan dimonopolikan) atau disia-siakan
jabatan-jabatan keagamaan.
9. Dalam
kekuasaan menurut Ibnu Khaldun sultan sendiri adalah seorang yang lemah yang
memikul tugas berat. Karena itu, perlu dibantu oleh pura-putra bangsanya. Kalau
dia memerlukan bantuan dalam kebutuhan sehari-hari, maka tentulah ia memerlukan
bantuan dalam mengendalikan rakyatnya. Tujuan pertama mengangkat kepala Negara,
ialah mewujudkan suatu jalan untuk membagi tanggung jawab, dan untuk mengadakan
perikatan antara imamah dengan kekuasaan-kekuasaan yang timbul dari kepentingan
umu hanya sebagai symbol, tetapi juga karena merupakan perantaraan yang
menghubung m. Dengan demikian mangangkat kepala Negara bukanlah suatu yang
dimaksudkan kan antara umat dengan petugas-petugas Negara.
10. Dalam
susunan pemerintahan Ibnu Khaldun menamakan tugas-tugas yang wajib dilaksanakan
oleh perintah dengan khiththah. Beliau membagi khiththah, kepada khiththah
diniyah dan khithtah sulthaniyah yang pada hari ini dikatakan siyasah atau
idariyah. Ibnu Khaldun berpendapat, tata aturan islam meliputi kedua-dua
khiththah ini. Ibnu Khaldun menggolongkan khiththah diniyah kedalam : urusan
shalat, memberi fatwa, mengadili perkara, berjihad dan mengadakan lembaga
hisbah. Dan beliau memasukkan khiththah sulthaniyah kedalam : wizarah, hijabah,
instansi yang mengurus urusan-urusan pengutipan pajak Negara, admitrasi
pemerintahan, badan kepolisian dan pimpinan tentara. Sesungguhya tata aturan Al
imamah Al Kubra meliputi semua itu, karena Negara mempunyai tugas menyelesaikan
segala urusan yang berhubungan dengan keagamaan dan keduniaan, serta
melaksanakan hukum-hukum syara’ secara umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar