Sejarah
Kesultanan Banten
Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Tatar
Pasundan, Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526,
ketika kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke
kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan
kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan
sebagai antisipasi terealisasinya perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis
tahun 1522 m.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan
Gunung Jati berperan
dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin
mengembangkan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan (dibangun 1522
m) menjadi kawasan kota pesisir yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan
setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan
Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu
bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya.
Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya
maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan
hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten
akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol
kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya,
para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di
Hindia Belanda.
Syiar
Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten
Pada masa awal kedatangannya ke
Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran
Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa
itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya
menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang
melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan
inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan pucuk umum
(penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten
terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau
Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahanten
Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten
Girang.
Di wilayah Wahanten Pasisir
Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang
Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu
Winaon (lahir pada 1477 m) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran
Sabakingkin : nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada
1478 m.]Sang Surosowan walaupun tidak memeluk
agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke
wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali
ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan
Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang
menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para
wali.
Latar
belakang penguasaan Banten
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor
(Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511.
Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor
untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan
Demak pada 1518.
Persekutuan kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya dewata (Siliwangi) di Pakuan.
Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis
Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut
Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.
Pada tahun 1513 m, Tome Pires pelaut
Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di
pelabuhanBanten.
Syarif Hidayatullah mengajak
putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah, sekembalinya dari Mekah
Syarif Hidayatullah dan puteranya yaitu Maulana Hasanuddin kemudian melakukan
dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara
sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari
aktifitas dakwah ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama
Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt), aktifitas dakwah
kemudian dilanjutkan olehMaulana Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten
seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang dimana ia pernah tinggal selama
sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung
Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan dengan pola syiar yang kurang lebih
sama seperti yang dilakukan ayahnya.
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu
Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan singah di
pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh
Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak
perdagangan dengan para pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang
mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh
lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan
pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman kerajaan Sunda. Pada tahun itu
juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang
memiliki kepentingan yang sama dengan kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi)
memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat
mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan
persahabatan tersebut Jaya dewata (Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke
Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha
meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan
antara kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada
Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di
pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa
mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh
kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis
untuk membangun benteng.
Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso
d’Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk
menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut
sebagai Raja Samiam) untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna
melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif
Pada tanggal 21 Agustus 1522
dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat
loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda
Kelapa dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang
diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis
1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ(dibaca :
Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut dalam
cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita
rakyatMundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian
ditandatangani olehPadam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty
(Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar
(dan Syahbandar) Syahbandar
Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi,
dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.
Penguasaan
Banten
Pada tahun 1522, Maulana
Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada
masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di
kawasan Pacitan.Sementara yang menjadi pucuk umum(penguasa) di Wahanten
Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari
Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya
Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir
hingga tahun 1526 m.
Pada tahun 1524 m, Sunan Gunung Jati
bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat
di pelabuhan Banten Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan
bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan
Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebutWahanten Girang
Dalam Carita Sajarah Banten
dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebondan kesultanan Demak
mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit
penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin
Dalam sumber-sumber lisan dan
tradisional di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang
terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah Maulana Hasanuddinyang berhasil
menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahantenyang
merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum
Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas
dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung
ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan
aktifitas dakwahnya.Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin
dan dia berhak melanjutkan aktifitas dakwahnya. Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk
Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.
Sepeninggal Arya Suranggana,
kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam,
paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.
Penyatuan
Banten
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan
Gunung Jati, Maulana Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten
Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir.
Kompleks istana Surosowan tersebut
akhirnya selesai pada tahun 1526. Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya pucuk umum(penguasa)
Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten
Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang
dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian
disebut sebagaiBanten dengan status sebagai kadipaten dari kesultanan
Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m), kemudian
Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten
diserahkan kepadaMaulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut sebagian ahli
berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di
Banten meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya
menjadi penguasa (sultan) di Banten[28]Alasan-alasan demikianlah
yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa
Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana
Hasanuddin.
menurut catatan dari Joao de Barros,
semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah
yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.
Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin
diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati)
Banten
sebagai kesultanan
Kesultanan Banten menjadk kesultanan
yang mandiri pada tahun 1552 setelah Maulana Hasanuddin ditasbihkan oleh
ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati sebagai Sultan di Banten.
Maulana Hasanuddin juga melanjutkan
perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam
penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak
dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan
Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Maulana Yusuf anak dari Maulana
Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda
dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya
Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian
dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal
karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa Pangeran Ratu anak dari
Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar
“Sultan” pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan
diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui
surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629
kepada Charles I.[1]
Puncak
kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan
maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli
atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai
pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu
pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke
seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris,
Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang denganPersia, India, Siam, Vietnam, Filipina,
Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa
(bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.[35] Di
bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa,
serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana
atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun
1661.[36] Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan
yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal
dagang menuju Banten.
Perang
saudara
Sekitar tahun 1680 muncul
perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan
pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini
dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang
memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat
dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu
Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja
Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan
persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya
dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28
Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan
Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dariMakasar
mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng
tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan
mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan
Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati
yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan
pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan
Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh
Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan
diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput
Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia,
mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun
terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos
pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta
pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7
Februari 1684 sampai di Batavia.
Penurunan
Bantuan dan dukungan VOC kepada
Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya
pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera
dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC
di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan
surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak
monopoli perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan perjanjian
tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang
tersebut kepada VOC.
Setelah meninggalnya Sultan Haji
tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga
pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur
Jendral Hindia Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat
mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya
digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin
Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun
ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di
Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara
keturunan penguasa Banten maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten,
atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak
pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di
antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang
berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa
perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar